POLEWALITERKINI.NET – Dugaan korupsi berjamaah yang dilakukan
pimpinan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sulawesi Barat (Sulbar) adalah
pemberitaan yang begitu hangat memenuhi beranda koran-koran lokal hari-hari
terakhir.
Banyak pihak yang merasa
tergelitik sebab tindakan manipulasi tersebut secara matematis jumlahnya tidak
sedikit dan melibatkan petinggi-petinggi parlemen secara massal. Terlebih bila
kita membaca secara seksama peristiwa korupsi di salah satu provinsi termuda
ini, rupanya kasus ini adalah fenomena korupsi yang paling mencegangkan dan
mengejutkan publik Sulbar.
Indikasi kuat bahwa para dewan
yang terhormat itu ditengarai melakukan penyelewengan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) dibeberkan oleh Kepala Kajati Sulsebar, Jan S Maringka
saat jumpa pers, Rabu (4/10/2017) yang menetapkan 4 unsur pimpinan DPRD Sulbar
sebagai tersangka, dimana mereka adalah unsur pimpinan yang paling
bertanggungjawab dalam dalam kasus dugaan penyimpangan APBD Sulbar
(TribunMakassar.com).
Melihat gejala ini, tentu kita
perlu mengawal dan menghargai proses hukum yang sedang berlangsung serta
berharap kepada penegak hukum agar benar-benar menjalankan tanggung jawabnya
secara profesional.
Sebab, kasus ini tentu saja
beririsan dengan dinamika percaturan para elit politik di daerah. Dimana
kendati pun semua mata lebih banyak tertuju pada keterlibatan anggota DPR,
tetapi tidak menutup kemungkinan adanya kolusi (Persekongkolan) antara
legislatif dan eksekutif. Apalagi kita demikian mafhum bahwasanya sudah menjadi
rahasia umum di republik ini, sering kali pemberantasan korupsi di tingkat elit
masih dilakukan secara tebang pilih.
Mengapa eksekutif ikut terseret?
Kita memahami bahwa secara prosedural rambu-rambu yang mengatur roda perputaran
kebijakan keuangan daerah tidak hanya diusulkan dan dilakukan oleh para
legislator (anggota dewan), tetapi juga pos-pos pengesahan dan penganggarannya
pasti melalui jalur pintu masuk para pengambil keputusan di tingkat eksekutif.
Artinya, secara administratif segala usulan-usulan anggaran pembelanjaan
daerah, tentu saja diketahui oleh pejabat pemerintah setempat.
Masih terngiang di beberapa
daerah banyak persoalan korupsi yang menimpa para anggota DPRD tetapi tidak
luput menyeret pejabat eksekutif juga seperti Kepala Daerah maupun Sekertaris
Daerah. Mereka harus berurusan dengan penegak hukum lantaran menyalahgunakan
kekuasaan dan wewenangnya. Lalu apakah pejabat publik legislatif dan eksekutif
dalam kasus ini benar-benar steril dari korupsi?
Kolusi Legislatif-Eksekutif?
Bambang Purwoko, dalam karya monumentalnya
“Demokrasi Mencari Bentuk: Analisis Politik Indonesia Kontemporer menyebut
bahwa, lingkaran kebohongan dan kongkalikong di tingkat eksekutif dan
legislatif pada dasarnya terus bergulir, hanya saja gerak gerik para anggota
dewanlah (legislator) yang selalu menjadi sorotan media massa. Sehingga, hanya
mereka yang menjadi bulan-bulanan media massa dan mendapat kecaman berbagai
pihak. Padahal, jangan lupa bahwa para pengambil keputusan di tingkat eksekutif
juga kadang kala bermasalah.
Dalam banyak kasus, perkara
korupsi kebijakan anggaran di parlemen daerah yang banyak terjadi belakangan
ini karena persekongkolan itu. Sudah banyak bukti kuat adanya konspirasi yang
dibangun dalam lingkaran para elit, tak terkecuali anggota parlemen dan pejabat
birokrat pemerintah daerah. Ini dapat kita lihat dari data terakhir Kementrian
Dalam Negeri sampai bulan Desember tercatat cukup tinggi, gubernur, bupati,
walikota yakni sebanyak 343 orang yang tersangkut masalah hukum baik di
kejaksaan, polisi, maupun KPK. Semua itu beririsan dengan masalah pengelolaan
keuangan daerah (Kompas.com).
Benarlah analisis Sunyoto Usman, guru besar sosiologi
politik di salah satu universitas terkemuka di negeri ini, yang mengemukakan
bahwa komponen yang paling banyak terlibat dalam kasus korupsi adalah birokrat
dan politisi. Ke-dua komponen ini yang kadang kala melakukan tindakan terencana
dan sistematis untuk meraup keuntungan dibalik kebijakan-kebijakannya. Untuk
konteks kasus markup APBD yang jumlahnya tidak sedikit itu, bisa jadi permainan
kongkalikong itu memang yang tengah terjadi. Para anggota legislatif menyusun
kebutuhan anggaran yang manipulatif, dan di lain pihak pemerintah turut
melakukan pendampingan dalam membuat perencanaan dan implementasi kebijakan
tersebut.
Meminta Pertangung Jawaban Publik
Dalam keseluruhan proses
perancangan dan pengalokasian APBD yang bermasalah itu, tentu anggota
legislatif tidaklah sendirian yang bertanggung jawab. Maka sejatinya pihak
berwenang tidak saja hanya menyasar para anggota parlemen yang diduga ikut
terlibat, tetapi juga harus memastikan untuk memeriksa pejabat pemerintah
setempat sebagai pertanggung jawaban sosial terhadap publik. Peran pimpinan
DPRD memang terlihat sangat dominan, tetapi jangan lupa bahwa membengkaknya
dana APBD, tentu tidak serta merta tidak diketahui pemerintah provinsi.
Apalagi, secara kelembagaan hubungan antara eksekutif dan legislatif adalah
sejajar karena keduanya adalah bermitra dan mempengaruhi satu sama lain.
Sehingga dana-dana siluman itu mungkin saja ada hubungan kerja sama diantara
aktor-aktor dalam lembaga tersebut.
Kita tentu tidak ingin para wakil
sekaligus pemimpin kita melakukan pembohongan publik dan memanfaatkan suatu
posisi sosial itu untuk keuntungan pribadi, partai maupun kelompoknya. Apalagi
sampai mengorbankan masyarakat. Sebab jika demikian yang terjadi, jalan untuk
menyejahterakan masyarakat ujung-ujungnya pasti akan mengalami kegagalan. Saya
demikian yakin bahwa baik para anggota dewan maupun pejabat pemerintahan, akan
sangat sulit untuk mencapai target pembangunan yang maksimal dalam rangka
peningkatan kapasitas sosial maupun infrastruktur ekonomi yang dibutuhkan
daerah jikalau tindakan korupsi politik masih tertancap dengan kuat dalam
tatanan politik pemerintahan di daerah.
Jika kita masih percaya pada
ungkapan Kartini Kartono, bahwa korupsi adalah benalu sosial yang merusak
sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi hambatan paling utama bagi
pembangunan. Maka sejatinya kita tidak perlu bersikap ramah lagi terhadap
mereka yang dengan sengaja menghianati amanah yang diberikan rakyat itu. Untuk
itu, di sini keterlibatan masyarakat sebagai alat kontrol sosial demikian
diperlukan, karena semakin peduli kita terhadap persoalan korupsi, semakin
terbuka pula berbagai ruang untuk mencapai cita-cita penerapan good governance,
yang transparan dan akuntabel. Dengan begitu, ruang-ruang sosial dan iklim
politik akan terasa lebih lapang dan setiap pribadi juga akan merasakan
kebermanfaatan anggaran pembangunan menurut pilihan-pilihan kebutuhan rakyat di
daerah.
Penulis : Mahyuddin, Mahasiswa
Pascasarjana Sosiologi UGM.