Ketua KPID Sulbar, Andi Rannu |
POLEWALITERKINI.NET – Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Donggala dan Palu menyebabkan duka mendalam bagi korban dan keluarganya. Selain itu, dampak psikologis berupa trauma terhadap anak-anak maupun orang dewasa yang jadi korban juga menyertainya.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Sulawesi Barat, Andi Rannu mengungkapkan, kejadian luar biasa bencana seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah tersebut, informasi dan dokumentasinya telah menyebar dengan begitu cepat dan dapat dengan mudah diakses oleh khalayak ramai berkat kemajuan teknologi dan komunikasi saat ini.
Tak hanya itu, dokumentasi berupa rekaman menjelang atau pada saat terjadinya peristiwa bencana yang dibuat oleh masyarakat, juga umumnya lalu disiarkan melalui lembaga penyiaran untuk menambah informasi bagi penonton dan masyarakat.
“Nah, pada wilayah inilah sangat rentan terjadinya hal-hal yang tidak kita harapkan dari proses penyiaran dan pemberitaan di media penyiaran terkait bencana ini, ketika misalnya, proses verifikasi tidak dilakukan secara memadai. Sebab itu, penting diperhatikan dalam proses penyampaian liputannya ini, agar penyiaran tidak justru menambah atau menimbulkan dampak negatif bagi para korban bencana maupun masyarakat pada umumnya.” Kata Ketua KPID Sulbar, Andi Rannu dalam keterangannya di Mamuju. Rabu (03/10/2018).
Andi menjelaskan, terkait hal itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat telah mengeluarkan surat edaran yang meminta kepada seluruh lembaga penyiaran televisi untuk memperhatikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI Tahun 2012 terkait kewajiban dan batasan dalam menayangkan peliputan bencana atau musibah pada program siaran jurnalistik.
“Surat Edaran ini yang ditujukan kepada seluruh direktur lembaga penyiaran televisi itu telah diterbitkan KPI hari Senin kemarin, 1 Oktober 2018, dan ditandatangani ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis. Sebagaimana disampaikan di dalamnya, tujuan surat edaran ini agar lembaga penyiaran senantiasa mengingat dan berpedoman pada kaidah-kaidah penayangan liputan bencana di lembaga penyiaran. Dan pertimbangan wajibnya adalah proses pemulihan korban, keluarga, dan masyarakat.” Katanya.
Dijelaskan, dalam surat edaran KPI tersebut, lembaga penyiaran wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga, dan atau masyarakat terkait penayangan liputan bencana di lembaga penyiaran. Selain itu, juga termuat larangan untuk menambah penderitaan atau trauma korban, keluarga, dan masyarakat, dengan cara memaksa, menekan, dan/atau mengintimidasi untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya.
Lembaga penyiaran juga dilarang menampilkan gambar dan atau suara saat-saat menjelang kematian, mewawancarai anak di bawah umur sebagai narasumber peristiwa bencana tersebut, serta menampilkan gambar korban atau mayat secara detail dengan close up dan atau menampilkan gambar luka berat, darah, atau potongan organ tubuh.
Menyangkut penjelasan peristiwa bencana, lembaga penyiaran wajib menampilkan narasumber kompeten dan terpercaya dalam menjelaskan peristiwa bencana secara ilmiah.
“Masyarakat harus diberikan informasi dengan benar, jelas, dan dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuannya adalah agar penonton atau masyarakat kita ini mendapatkan informasi yang benar dan tidak justru menimbulkan kegaduhan dan ketidakjelasan. Verifikasi atas semua informasi serta cek dan ricek di dalamnya, tentu saja sangat dibutuhkan.” Tambahnya.(*)
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Sulawesi Barat, Andi Rannu mengungkapkan, kejadian luar biasa bencana seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah tersebut, informasi dan dokumentasinya telah menyebar dengan begitu cepat dan dapat dengan mudah diakses oleh khalayak ramai berkat kemajuan teknologi dan komunikasi saat ini.
Tak hanya itu, dokumentasi berupa rekaman menjelang atau pada saat terjadinya peristiwa bencana yang dibuat oleh masyarakat, juga umumnya lalu disiarkan melalui lembaga penyiaran untuk menambah informasi bagi penonton dan masyarakat.
“Nah, pada wilayah inilah sangat rentan terjadinya hal-hal yang tidak kita harapkan dari proses penyiaran dan pemberitaan di media penyiaran terkait bencana ini, ketika misalnya, proses verifikasi tidak dilakukan secara memadai. Sebab itu, penting diperhatikan dalam proses penyampaian liputannya ini, agar penyiaran tidak justru menambah atau menimbulkan dampak negatif bagi para korban bencana maupun masyarakat pada umumnya.” Kata Ketua KPID Sulbar, Andi Rannu dalam keterangannya di Mamuju. Rabu (03/10/2018).
Andi menjelaskan, terkait hal itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat telah mengeluarkan surat edaran yang meminta kepada seluruh lembaga penyiaran televisi untuk memperhatikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI Tahun 2012 terkait kewajiban dan batasan dalam menayangkan peliputan bencana atau musibah pada program siaran jurnalistik.
“Surat Edaran ini yang ditujukan kepada seluruh direktur lembaga penyiaran televisi itu telah diterbitkan KPI hari Senin kemarin, 1 Oktober 2018, dan ditandatangani ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis. Sebagaimana disampaikan di dalamnya, tujuan surat edaran ini agar lembaga penyiaran senantiasa mengingat dan berpedoman pada kaidah-kaidah penayangan liputan bencana di lembaga penyiaran. Dan pertimbangan wajibnya adalah proses pemulihan korban, keluarga, dan masyarakat.” Katanya.
Dijelaskan, dalam surat edaran KPI tersebut, lembaga penyiaran wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga, dan atau masyarakat terkait penayangan liputan bencana di lembaga penyiaran. Selain itu, juga termuat larangan untuk menambah penderitaan atau trauma korban, keluarga, dan masyarakat, dengan cara memaksa, menekan, dan/atau mengintimidasi untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya.
Lembaga penyiaran juga dilarang menampilkan gambar dan atau suara saat-saat menjelang kematian, mewawancarai anak di bawah umur sebagai narasumber peristiwa bencana tersebut, serta menampilkan gambar korban atau mayat secara detail dengan close up dan atau menampilkan gambar luka berat, darah, atau potongan organ tubuh.
Menyangkut penjelasan peristiwa bencana, lembaga penyiaran wajib menampilkan narasumber kompeten dan terpercaya dalam menjelaskan peristiwa bencana secara ilmiah.
“Masyarakat harus diberikan informasi dengan benar, jelas, dan dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuannya adalah agar penonton atau masyarakat kita ini mendapatkan informasi yang benar dan tidak justru menimbulkan kegaduhan dan ketidakjelasan. Verifikasi atas semua informasi serta cek dan ricek di dalamnya, tentu saja sangat dibutuhkan.” Tambahnya.(*)