Penulis : Abdul Kadir SH.MH selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Barat.
PolewaliTerkini.Net - POLMAN - Perdagangan orang atau yang dikenal dengan sebutan Human Trafficking merupakan bentuk kejahatan transnasional baru yang semakin marak terjadi.
Kejahatan dalam bentuk ini biasa ditemui di negara–negara berkembang termasuk di Indonesia yang pada umumnya dilatarbelakangi terjadinya kesenjangan ekonomi, dengan banyak tuntutan kebutuhan tenaga kerja murah yang biasanya berasal dari luar negeri.
Indonesia merupakan negara asal terbesar bagi korban perdagangan orang, baik bersifat domestik maupun lintas batas, hal ini didasarkan pada data yang dikeluarkan International Organitation for Migration (IOM) yang mensinyalir sekitar 50 persen tenaga kerja Indonesia di luar negeri menjadi korban perdagangan orang.
Sejatinya perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia dan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan.
Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
Pada dasarnya secara legalitas Negara telah menyiapkan perangkat hukum melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang secara ekspilisit diatur dalam Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan bahwa Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Demikian halnya dengan pengenaan sanksi pidana terhadap para pelaku terbilang cukup berat yaitu pidana penjara 3 tahun sampai dengan 15 tahun telah siap menanti jika sekiranya seseorang terbukti terlibat dalam suatu tindak pidana perdagangan orang.
Sulawesi Barat merupakan salah satu daerah penyumbang tenaga kerja migran yang sebagian besar diberangkatkan ke Malaysia atau daerah timur tengah seperti Arab Saudi.
Hal yang menjadi permasalahan terkait pemberangkatan tenaga kerja migran keluar negeri adalah terkait aspek perlindungan, dimana pada umumnya mereka yang diberangkatkan tidak memiliki dokumen resmi sehingga ketika terjadinya suatu masalah maka yang bersangkutan sangat sulit untuk diperjuangkan terkait hak-haknya khususnya masalah gaji dan klaim uang duka atau tunjangan lain jika sekiranya yang bersangkutan meninggal dunia.
Seperti yang terjadi pada salah seorang Pekerja Migran asal Polewali Mandar atas nama Saidiman Hamal yang meningal di Kota Kinabalu, Malaysia yang bekerja di Kapal Penangkap Ikan Sabah Fish Marketing Sdn Bhd (SAFMA) yang hingga saat ini pembayaran uang duka atau santunan serta hak-hak lain belum kunjung diberikan kepada keluarga atau ahli warisnya dan tentunya ini menjdi suatu ironi bagi mereka yang berangkat keluar negeri dengan tujuan untuk mengangkat taraf hidup ekonomi keluarga.(*)